Adit (11) dan Dika (10)-bukan nama sebenarnya-asyik berkejaran, bergurau, dan bermain peran di halaman rumah mereka di sebuah dusun di Kecamatan Panggang, Gunung Kidul. Adit pura-pura gantung diri di pohon srikaya. Ia lilitkan selendang kecil di leher. Andai Dika tak berteriak, "Adit nggantung... Adit nggantung....", dan tetangga tak segera melepas ikatan selendang, nama Adit akan menjadi satu dari deretan panjang korban bunuh diri.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, satu juta orang bunuh diri di seluruh dunia pada 2000. Atau, setiap 40 detik, seseorang mati bunuh diri di dunia. Setiap 3 detik, seseorang mencoba mati. Bunuh diri masuk tiga besar penyebab kematian kaum muda rentang usia 15-35 tahun. Setiap bunuh diri berdampak serius pada sedikitnya enam orang lainnya.
Masih menurut WHO, angka bunuh diri di Indonesia meningkat ketika terjadi krisis ekonomi 1997-1998. Gunung Kidul tercatat menduduki peringkat tertinggi nasional dengan rasio 9 bunuh diri per 100.000 jiwa, sedangkan kasus bunuh diri di Jakarta 1 per 100.000 jiwa. Data Kepolisian Resor Gunung Kidul mencatat 272 kasus bunuh diri dari 2001 hingga 2009. Grafiknya terus naik.
Kisah gantung diri yang sudah diadopsi anak-anak sebagai materi permainan itu ditemui dokter ahli jiwa Ida Rochmawati ketika masih bertugas di Panggang. Permainan peran gantung diri oleh Adit terjadi setelah peristiwa bunuh diri beruntun tiga bulan berturut-turut di Panggang. Pengalaman berpapasan dengan realitas maraknya bunuh diri dituangkan Ida dalam buku bertajuk Nglalu.
Nglalu atau istilah lokal untuk kenekatan bunuh diri memang masih menghantui Gunung Kidul. Tepat satu pekan lalu, pada Selasa (9/3), dua peristiwa bunuh diri terjadi di kota Wonosari. Warga Banjarsari, Kepek, Suroto (50) dan warga Jeruk Kepek, Herman Sutrisno (55), gantung diri. Herman yang pegawai negeri sipil sempat melontarkan keinginan bunuh diri ke rekan-rekannya.
Seorang rekannya mendengar keluhan Herman, tetapi menganggap sekadar kekesalan sesaat. Kebanyakan orang dengan kecenderungan bunuh diri akan mengomunikasikan pemikiran dan niat mereka dengan bahasa lisan atau menggunakan isyarat kematian. Orang-orang di sekitar calon pelaku bunuh diri seharusnya waspada dan tidak mengabaikan sinyal-sinyal itu.
Adriana, pegawai bidang pembinaan dari Badan Kepegawaian Daerah Gunung Kidul, prihatin dengan rendahnya bekal pengetahuan PNS tentang ilmu kejiwaan. Padahal, setiap instansi pemerintahan memiliki pegawai bagian tata usaha yang menangani bidang kepegawaian dan turut menjadi konselor bagi permasalahan pegawai, termasuk indikasi bunuh diri.
Pada buku Nglalu, Ida menyajikan beragam contoh sinyal kematian yang tak tersampaikan sehingga berujung kematian. Seorang pria pelaku bunuh diri, misalnya, menulis surat wasiat, "Jika mama tinggalkan papa, papa janji akan bunuh diri". Ada pula seorang gadis yang menulis, "Pesanku: Kalau kamu tidak niat melakukan sesuatu, janganlah kamu ucapkan terlebih dahulu. Semoga dengan ini, penyiksaanku terhenti."
Hitungan menit-jam
Menurut Ida, pada dasarnya tidak ada satu orang pun mau mati. Dorongan bunuh diri sebenarnya bersifat sementara, hanya beberapa menit hingga jam. Ketika seseorang depresi, kadar serotonin turun sehingga muncul rasa sedih, pesimistis, dan pikiran tidak realistis. "Ketika dibawa ke dokter jiwa, pasien biasanya sudah kronis. Ibaratnya, hanya dapat pasien sisa dukun," kata Ida.
Melalui obat antidepresi, jaringan transmisi yang terganggu bisa kembali tersambung dan bisa dilanjutkan konseling pribadi. Tanda bunuh diri bisa dikenali, seperti membicarakan kematian, berkeluh kesah, mendadak sangat ceria atau pendiam, dan ditemukan surat wasiat. Orang yang berniat bunuh diri biasanya merasa paling menderita sehingga butuh pertolongan orang lain. Berbekal pengetahuan kejiwaan, bunuh diri seharusnya bisa dicegah.
From : Kompas.com
No comments:
Post a Comment